Mampu menghafal Al-Qur’an adalah kurnia Allah yang tak ternilai harganya, dan tidak semua orang diberikan kurnia ini. Menghafal Al-Qur’an itu mudah, tidak sulit. Ia boleh dilakukan oleh sesiapa saja, tak kira berapapun usia dan apapun bidang seseorang bukan menjadi faktor dan alasan yang membuat menghafal itu menjadi susah. Kanak-kanak, remaja, tua dan dewasa, semua boleh menghafalkan Al-Qur’an. Sehinggakan seorang buta pun boleh melakukannya. Inilah yang terjadi pada seorang anak yang cacat penglihatan berasal dar Mesir ini. Buta namun hafal Al-Qur’an.
Mu’adz namanya, ia adalah seorang anak yang lahir kurang beruntung layaknya seperti manusia normal yang lain. Anak ini lahir dalam keadaan tidak dapat melihat (buta). Sebagaimana orang buta lainnya, ia tidak boleh banyak melakukan sesuatu, terbatas oleh ketidakmampuannya untuk melihat. Namun, meskipun buta ada yang unik tentang anak ini, ternyata Mu’adz telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an lengkap 30 juz. Sejak awal ia melakukannya (menghafal) dengan penuh kesabaran, dan didorong oleh motivasi yang tinggi. Hingga pada usianya yang ke-11 tahun ia berhasil mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an. Sesuatu yang tidak semua orang dapat melakukannya, oleh manusia normal sekalipun.
Pembaca sekalian, mungkin bagi kita yang telah diberikan nikmat penglihatan oleh Allah menganggap mata adalah jendela dunia. Tanpanya, hidup ini terasa tidak lengkap dan sempurna. Bayangkan saja, jika sebelumnya kita dapat melihat (penglihatan normal) ternyata akhirnya ditakdirkan buta – na’udzubillah, apa yang terjadi? Kita tentu bersedih dan menderita kerana tidak dapat melihat lagi.
Namun, bagi Mu’adz ia sama sekali tidak pernah bersedih ataupun mengeluh dengan atas derita yang alami ini. Justeru ia bersyukur kepada Allah atas takdir dan kondisinya sekarang. Itu ia tunjukkan dengan menghafal Al-Qur’an. Keterbatasan fizikal tidak membuatnya terhalang untuk menghafal Al-Qur’an. Anak ini menganggap bahwa takdirinya ini (buta) menjadi jalan baginya untuk dapat menghafal Al-Qur’an.
“Dalam salatku, aku tidak meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatanku…”
Dalam sebuah rakaman video acara TV yang dipandu oleh seorang imam masjid, iaitu Syaikh Fahd Al-Kandari, sempat mewawancarai Mu’adz. Bertanya bagaimana ia dapat menghafal Al-Quran dalam keadaannya ini. Semangatnya untuk menghafal ayat-ayat Allah yang mulia membuat langkah kakinya ringan untuk pergi ke tempat gurunya. Dan terjadilah dialog antara syaikh Al-Kandari dan Mu’adz.
“Saya yang datang ke tempat syaikh,” kata Mu’adz.
“Berapa kali dalam seminggu?” Tanya syaikh.
“Tiga hari dalam seminggu,” jawabnya.
“Pada awalnya hanya sehari dalam seminngu. Lalu saya mendesak beliau (syaikhnya) dengan sangat agar menambah harinya, sehingga menjadi dua hari dalam seminggu. Syaikh saya sangat ketat dalam mengajar. Beliau hanya mengajarkan satu ayat saja setiap hari,” sambungya.
“Satu ayat saja?” ujar beliau terkejut, takjub dengan semangat waja anak ini.
Dalam tiga hari itu ia khususkan untuk belajar ayat-ayat suci Al-Qur’an, tidak ada waktu keluar bermain dengan kawan-kawan sebayanya. Sang penyiar TV tersenyum dan menepuk paha anak itu tanda kagum, disambut senyum ceria oleh anak ini.
Yang lebih mengagumkan dalam dialog itu adalah pernyataan Mu’adz tentang kebutaannya. Ia tidak berdoa kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatannya, namun rahmat Allah-lah yang ia harapkan.
“Dalam salat, aku tidak meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatanku,” kata anak ini.
Jawaban anak ini membuat sang syaikh makin terkejut.
“Engkau tidak ingin Allah mengembalikan penglihatanmu? Mengapa?” tanyanya kehairanan, seolah tak yakin.
Dengan wajah meyakinkan, anak itu memaparkan alasannya. Bukannya ia tak yakin pada Allah, bukan. Namun ia menginginkan yang lebih indah dari sekadar penglihatan.
“Semoga menjadi keselamatan bagiku pada hari pembalasan (kiamat), sehingga Allah meringankan perhitungan (hisab) pada hari tersebut. Allah akan menanyakan nikmat penglihatan, apa yang telah engkau lakukan dengan penglihatanmu? Saya tidak malu dengan cacat yang saya alami. Saya hanya berdoa semoga Allah meringankan perhitungan-Nya untuk saya.
Mu’adz namanya, ia adalah seorang anak yang lahir kurang beruntung layaknya seperti manusia normal yang lain. Anak ini lahir dalam keadaan tidak dapat melihat (buta). Sebagaimana orang buta lainnya, ia tidak boleh banyak melakukan sesuatu, terbatas oleh ketidakmampuannya untuk melihat. Namun, meskipun buta ada yang unik tentang anak ini, ternyata Mu’adz telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an lengkap 30 juz. Sejak awal ia melakukannya (menghafal) dengan penuh kesabaran, dan didorong oleh motivasi yang tinggi. Hingga pada usianya yang ke-11 tahun ia berhasil mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an. Sesuatu yang tidak semua orang dapat melakukannya, oleh manusia normal sekalipun.
Pembaca sekalian, mungkin bagi kita yang telah diberikan nikmat penglihatan oleh Allah menganggap mata adalah jendela dunia. Tanpanya, hidup ini terasa tidak lengkap dan sempurna. Bayangkan saja, jika sebelumnya kita dapat melihat (penglihatan normal) ternyata akhirnya ditakdirkan buta – na’udzubillah, apa yang terjadi? Kita tentu bersedih dan menderita kerana tidak dapat melihat lagi.
Namun, bagi Mu’adz ia sama sekali tidak pernah bersedih ataupun mengeluh dengan atas derita yang alami ini. Justeru ia bersyukur kepada Allah atas takdir dan kondisinya sekarang. Itu ia tunjukkan dengan menghafal Al-Qur’an. Keterbatasan fizikal tidak membuatnya terhalang untuk menghafal Al-Qur’an. Anak ini menganggap bahwa takdirinya ini (buta) menjadi jalan baginya untuk dapat menghafal Al-Qur’an.
“Dalam salatku, aku tidak meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatanku…”
Dalam sebuah rakaman video acara TV yang dipandu oleh seorang imam masjid, iaitu Syaikh Fahd Al-Kandari, sempat mewawancarai Mu’adz. Bertanya bagaimana ia dapat menghafal Al-Quran dalam keadaannya ini. Semangatnya untuk menghafal ayat-ayat Allah yang mulia membuat langkah kakinya ringan untuk pergi ke tempat gurunya. Dan terjadilah dialog antara syaikh Al-Kandari dan Mu’adz.
“Saya yang datang ke tempat syaikh,” kata Mu’adz.
“Berapa kali dalam seminggu?” Tanya syaikh.
“Tiga hari dalam seminggu,” jawabnya.
“Pada awalnya hanya sehari dalam seminngu. Lalu saya mendesak beliau (syaikhnya) dengan sangat agar menambah harinya, sehingga menjadi dua hari dalam seminggu. Syaikh saya sangat ketat dalam mengajar. Beliau hanya mengajarkan satu ayat saja setiap hari,” sambungya.
“Satu ayat saja?” ujar beliau terkejut, takjub dengan semangat waja anak ini.
Dalam tiga hari itu ia khususkan untuk belajar ayat-ayat suci Al-Qur’an, tidak ada waktu keluar bermain dengan kawan-kawan sebayanya. Sang penyiar TV tersenyum dan menepuk paha anak itu tanda kagum, disambut senyum ceria oleh anak ini.
Yang lebih mengagumkan dalam dialog itu adalah pernyataan Mu’adz tentang kebutaannya. Ia tidak berdoa kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatannya, namun rahmat Allah-lah yang ia harapkan.
“Dalam salat, aku tidak meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatanku,” kata anak ini.
Jawaban anak ini membuat sang syaikh makin terkejut.
“Engkau tidak ingin Allah mengembalikan penglihatanmu? Mengapa?” tanyanya kehairanan, seolah tak yakin.
Dengan wajah meyakinkan, anak itu memaparkan alasannya. Bukannya ia tak yakin pada Allah, bukan. Namun ia menginginkan yang lebih indah dari sekadar penglihatan.
“Semoga menjadi keselamatan bagiku pada hari pembalasan (kiamat), sehingga Allah meringankan perhitungan (hisab) pada hari tersebut. Allah akan menanyakan nikmat penglihatan, apa yang telah engkau lakukan dengan penglihatanmu? Saya tidak malu dengan cacat yang saya alami. Saya hanya berdoa semoga Allah meringankan perhitungan-Nya untuk saya.
0 comments:
Post a Comment